Jakarta, 17 Mei 2023
Pembentukan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) pada dasarnya ditujukan untuk mengembangkan potensi ekonomi di daerah sesuai dengan semangat otonomi. Sehingga keberadaan BUMD diharapkan berdampak positif bagi pembangunan di tingkat lokal. Untuk mencapai tujuan dan dampak tersebut, pemerintah daerah diberikan kewenangan yang besar untuk mengelola BUMD. Pelaksanaan kewenangan tersebut setidaknya meliputi aspek keuangan (penyertaan modal) hingga pemilihan pimpinan BUMD.
Dalam praktiknya, kewenangan yang besar dalam pengelolaan BUMD tersebut justru menimbulkan berbagai persoalan. Dari aspek politis, pemilihan pimpinan BUMD (komisaris dan direksi) lebih menunjukkan kuatnya kelindan kepentingan politik didalamnya. Hal ini tentu akan menimbulkan dampak yang buruk dalam pengelolaan BUMD. Pengambilan keputusan strategis didalam BUMD pada akhirnya potensial digunakan hanya untuk memenuhi kepentingan politik jangka pendek tetapi merugikan kepentingan perusahaan. Berbagai kasus korupsi yang melibatkan BUMD, kerugian hingga penutupan perusahaan seharusnya dijadikan pembelajaran untuk memperbaiki tata kelola BUMD di seluruh Indonesia.
Danang Widoyoko, Sekjen Transparency International Indonesia (TI Indonesia) menilai bahwa pengelolaan BUMD seharusnya dijalankan dengan prinsip-prinsip anti korupsi. Atas dasar itulah TI Indonesia melakukan penilaian terhadap BUMD dengan menggunakan instrumen Transparency in Corporate Reporting (TRAC). TRAC merupakan sebuah alat penilaian untuk mendorong transparansi kebijakan dan komitmen antikorupsi perusahaan. Sejak 2016, TI Indonesia telah melakukan penilaian terhadap 335 perusahaan di Indonesia di berbagai sektor, baik perusahaan swasta maupun perusahaan negara (BUMN) dengan menggunakan instrumen TRAC.
Secara metodologi, penilaian TRAC BUMD terdiri atas enam dimensi atau aspek pencegahan korupsi yakni; (1) komitmen antikorupsi; (2) ruang lingkup kebijakan antikorupsi perusahaan; (3) pengungkapan kebijakan internal, (4) pengangkatan pimpinan, pemberian donasi politik dan kebijakan program CSR; (5) sistem pelaporan pelanggaran, perlindungan dan kerahasian pelapor; dan (6) program pelatihan dan pemantauan program antikorupsi. Penilaian dan analisis ini dilakukan pada berbagai dokumen yang dipublikasikan oleh perusahaan, seperti laporan keuangan, laporan keberlanjutan, laporan tahunan, pedoman perilaku, kode etik perusahaan, kebijakan antikorupsi perusahaan, dan dokumen lainnya yang dipublikasikan oleh perusahaan dan dapat diakses oleh publik. Penilaian ini menggunakan skala 0 (sangat tidak transparan) sampai dengan 10 (sangat transparan) berdasarkan enam dimensi penilaian.
TRAC BUMD 2023 dilakukan terhadap 47 BUMD yang tersebar di lima provinsi yakni Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Rerata skor TRAC dari 47 BUMD hanya sebesar 2,73 dari skor maksimal 10. Bahkan tidak lebih dari 30% atau hanya 14 perusahaan yang memperoleh skor lebih dari 5. Skor ini menunjukkan bahwa mayoritas BUMD tidak cukup baik dalam mengungkapkan transparansi program antikorupsi dan kegiatan politik perusahaan.
“Secara keseluruhan penilaian ini mengafirmasi buruknya tata kelola BUMD di Indonesia. Mayoritas BUMD tidak memiliki program anti korupsi. Sebagian kecil BUMD yang memiliki dan menjalankan program anti korupsi belum mencerminkan seluruh aspek pencegahan korupsi dan minim kebijakan yang mendukungnya. Sehingga mayoritas BUMD masih sangat rentan terjadi korupsi”, ujar Ezha Fachriza, Peneliti TI Indonesia.
- Dalam kajian ini mencatat beberapa temuan yang perlu mendapat perhatian khusus, yakni; Sebagian besar BUMD yang dinilai belum mengungkapkan secara terbuka komitmen antikorupsi perusahaannya. Sebanyak 30 BUMD (64%) belum secara lengkap mengungkapkan komitmen untuk mencegah terjadinya korupsi. Padahal, komitmen antikorupsi adalah salah satu prasyarat awal bagi pengembangan program antikorupsi di perusahaan.
- Sebanyak 29 BUMD (62%) belum memiliki kebijakan penanganan benturan kepentingan. Sedangkan untuk kebijakan Revolving Door1 keseluruhan BUMD belum memiliki kebijakan tersebut. Sementara untuk kebijakan Cooling-Off Period2 sejumlah 46 BUMD (98%) belum memiliki kebijakan secara jelas mengenai kebijakan Cooling-Off Period. Serta terdapat 43 BUMD (91%) belum memiliki kebijakan Trading of Influence3 atau memperdagangkan pengaruh.
- Sebanyak 31 BUMD (66%) memiliki direksi dan anggota dewan pengawas atau komisaris yang tergolong sebagai Politically-Exposed Persons (PEPs). Di mana sebanyak 78 pimpinan di 31 BUMD teridentifikasi sebagai PEPs dengan komposisi sebagai berikut: 31 orang pimpinan yang berasal dari kementerian atau lembaga di tingkat pusat dan daerah. Seperti menteri, kepala daerah, hingga sekretaris daerah. Sebanyak 15 orang pimpinan BUMD berasal dari politisi/terafiliasi dengan partai politik. Juga 15 orang pimpinan BUMD pernah memiliki jabatan strategis seperti menjadi advokat, pimpinan di perguruan tinggi negeri, direksi / komisaris di BUMN/D. Sementara itu, 5 orang pimpinan BUMD adalah purnawirawan Polri dan 4 orang Purnawirawan TNI. Bahkan ditemukan dari kalangan yudikatif yaitu hakim dan jaksa sebanyak 2 orang dalam jajaran BUMD.
Dalam laporan ini TI Indonesia menganalisis secara khusus mengenai Politically-Exposed Persons (PEPs) dan rangkap jabatan di BUMD. Temuan ini berangkat dari hasil identifikasi melalui rekam jejak dari struktur nama organisasi komisaris maupun direksi di BUMD masing-masing. Dimana mayoritas PEPs mengisi posisi sebagai pengawas BUMD/komisaris (62 PEPs). Selain itu walaupun jumlahnya tidak besar yakni 16 PEPs, posisi direksi menjadi sangat rentan jika ditempati oleh individu yang berasal dari birokrasi, politisi atau bahkan jabatan strategis lainnya. Maraknya PEPs di BUMD juga semakin menambah maraknya praktik rangkap jabatan. Sekalipun telah ada regulasi yang melarang praktik rangkap jabatan dan temuan lembaga pengawas pelayanan publik (Ombudsman RI, 2019). Dalam laporan ini TI Indonesia menemukan 9 (sembilan) kasus rangkap jabatan pada BUMD yang diteliti. Hal ini semakin rentan terjadinya konflik kepentingan dan tingginya risiko korupsi.
Berdasarkan hasil TRAC BUMD ini, TI Indonesia merekomendasikan kepada;
- Seluruh BUMD di Indonesia agar menerapkan prinsip-prinsip pencegahan korupsi secara konsisten dan melaporkan akuntabilitas pengelolaan perusahaannya secara transparan dan berkala kepada masyarakat.
- Kepada Kementerian Dalam Negeri untuk: (a) meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan BUMD; (b) menyusun program pembinaan dan pengawasan BUMD yang lebih terukur dan terstruktur; (c) menyusun peraturan terkait penanganan benturan kepentingan dalam pengelolaan BUMD.
- Kepada Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota agar meningkatkan tata kelola perusahaan yang baik dengan mendukung peningkatan transparansi BUMD melalui pelaporan akuntabilitas BUMD secara reguler.
- Kepada Komisi Pemberantasan Korupsi untuk membangun sistem integritas badan usaha, khususnya BUMD yang bisa diterapkan dan dimonitor untuk meningkatkan tata kelola BUMD yang bebas dari korupsi.
Narahubung;
Ezha Fachriza – Peneliti TI Indonesia (mezha@transparansi.id)
Download Laporan lengkap TRAC BUMD di sini
Download Fact Sheet TRAC BUMD di sini
Download Paparan TI Indonesia di sini
Download Paparan Kemendagri di sini
Download Paparan BP BUMD DKI di sini
Download Paparan VISI Integritas di sini
Download Paparan KPK di sini