Dalam rangka menyongsong Hari Korupsi Sedunia (HAKORDIA), Transparency International Indonesia pada Kamis (7/12) menginisiasi diskusi publik bertajuk “Membangun Demokrasi Bersih Melalui Perbaikan Tata Kelola Sawit” untuk mendorong perbaikan tata kelola sawit yang berkeadilan, transparan, dan berkelanjutan juga terakomodir dalam program kerja dari tiga kandidat capres-cawapres yang maju dalam Pilpres 2024. Diskusi tersebut diadakan juga sebagai bentuk respon atas maraknya fenomena korupsi di sektor ekstraktif, khususnya pada komoditas kelapa sawit di Indonesia.
Indonesia adalah produsen kelapa sawit terbesar di dunia, merujuk data Kementerian Pertanian pada tahun 2020 terdapat sekitar 16,38 juta hektar perkebunan sawit di Indonesia. Pada cakupan tersebut terdapat 16 ribu pekerja yang bekerja di perkebunan sawit dan ada 2,4 juta kepala keluarga di Indonesia yang menggantungkan hidup pada rantai pasok komoditas ini.
Dalam pembukaan diskusi Danang Widoyoko selaku Sekretaris Jenderal Transparency International menyatakan bahwa komoditas sawit telah menjelma menjadi komoditas politik yang mempengaruhi politik electoral di Indonesia. Ia juga menyoroti praktik korupsi pada bisnis sawit di Indonesia.
“Biaya politik dalam sistem demokrasi di Indonesia dari hari ke hari semakin mahal, kondisi ini menyadarkan para elit kita untuk mencari dukungan finansial dari pengusaha besar di Indonesia, salah satunya adalah dari para pengusaha sawit. Oleh karena itu isu tentang tata kelola sawit ini berusaha kita dorong agar juga menjadi fokus dari program kerja tiga kandidat capres-cawapres ini,” papar Danang Widoyoko dalam pidatonya, Kamis Siang (7/12) di Jakarta.
Sengkarut tata kelola sawit yang menjadi kekhawatiran Transparency International Indonesia ini juga sejalan dengan analisis Ward Barenschot yang turut menjadi narasumber dalam diskusi tersebut. Akademisi Universitas Amsterdam itu menyatakan bahwa terdapat lingkaran setan klientalistik dalam bisnis sawit di Indonesia yang mempengaruhi politik elektoral di negara ini. Kondisi ini menyebabkan terbentuknya relasi yang saling bergantung antara politisi dan pebisnis sawit.
“Ada hubungan antara pelanggaran peraturan oleh pengusaha sawit dengan karakter klientalistik pemilu di Indonesia. Kondisi ini berawal dari ongkos politik di Indonesia mahal karena parpol gagal menjadi saluran masyarakat. Akibatnya politisi butuh dana kampanye yang besar, mereka harus bikin deal dengan pengusaha, salah satunya pengusaha sawit. Pengusaha yang kasih dana punya harapan setelah pemilu ada keuntungan yang didapatkan misalnya HGU atau jenis konsesi yang lain,” ungkap Ward Barenschot.
Terdapat tren peningkatan ekspansi perkebunan sawit yang tidak normal setiap menjelang musim pemilu dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia, fenomena tersebut turut diungkap oleh Syahrul Fitra, Senior Campaigner Greenpeace Indonesia dalam agenda diskusi yang diselenggarakan di bilangan Wahid Hasyim, Jakarta ini.
“Transaksional di masa pemilu ini mendorong luasan lahan sawit di Indonesia terus bertumbuh yang mengakibatkan kerusakan hutan marak terjadi di Indonesia. Saat ini kawasan Papua menjadi yang paling banyak mengalami kerusakan hutan akibat pembukaan lahan untuk perkebunan sawit, ada 600 ribu hektar hutan di Papua rusak karena kebun sawit. Artinya pemeirntah belum benar-benar melihat kehilangan hutan ini sebagai masyarakat lingkungan utama di Indonesia,” papar Syahrul.
Syahrul juga mengungkapkan bahwa para kandidat capres-cawapres harus memasukan masalah kehilangan hutan ini dalam visi misi kampanyenya.
Selain menyebabkan kerusakan hutan, distribusi manfaat dari rantai pasok komoditas sawit di Indonesia juga sarat akan praktik monopoli yang jika dilacak penerima manfaat akhirnya merupakan para taipan ekonomi yang juga menjadi patron dari banyak politisi di Indonesia. Merujuk pada kajian TUK (Transformasi untuk Keadilan) Indonesia, lebih dari 5,65 juta Hektar lahan sawit yang tersebar di beberapa wilayah di Indonesia hanya dikuasai oleh 25 orang yang merupakan taipan ekonomi Indonesia.
“Dari studi kami terdapat areal tutupan sawit seluas 5,9 juta hektar yang dikuasai oleh 25 taipan ekonomi Indonesia. Di mana 79% perusahaan sawit dari 5,9 juta hektar itu tidak meralisasikan program plasma. Tiga taipan teratas adalah Sinarmas, Salim grup, dan Jardine Martheson. Taipan-taipan ini masih banyak yang belum patuh menyelesaikan kewajiban plasmanya,” Jelas Linda Rosalina selaku Direktur TuK yang hadir dalam diskusi tersebut.
Turut menjadi pemateri dalam diskusi tata kelola sawit ini, Peneliti Sajogyo Institut Eko Cahyono, yang menyoroti pergeseran fenomena korupsi di Indonesia. “Jika dulu korupsi terjadi karena ada birokrasi yang kumuh. Tapi sekarang lebih parah lagi korupsi terjadi karena sistem yang menyandra negara dengan sangat parah. Ada banalitas demokrasi, ciri-cirinya korupsi khususnya di bisnis sawit di Indonesia saat ini dianggap wajar,” pungkas Eko Cahyono.
Diskusi tata kelola sawit yang diselenggarakan Transparency International Indonesia ini diakhiri dengan pembacaan pernyataan sikap yang menekankan tentang pentingnya perbaikan tata kelola sawit di Indonesia yang berkeadilan, transparan, dan berkelanjutan. Selanjutnya pernyataan sikap ini akan diserahkan kepada tim sukses masing-masing kandidat capres-cawapres.
***
Narahubung diskusi tata kelola sawit di Indonesia: Lalu Hendri Bagus, dapat dihubungi melalui email lbagus@transparansi.id