Ditengah ketidakpastian ancaman pandemi Covid-19, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Pemerintah, Senin (5/10/2020), telah mengetuk palu tanda disahkannya Omnibus Law RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang. Pengesahan serba cepat tersebut dianggap banyak kalangan masyarakat bermasalah. Paradigma UU ini dinilai menguntungkan kelompok elit politik dan pengusaha besar serta meninggalkan semangat pembangunan berkelanjutan. Sementara pelanggaran prosedur pembentukan perundang-undangan juga secara kasat mata diperlihatkan, melalui pengabaian prinsip musyawarah mufakat dan menutup ruang aspirasi publik.
Presiden mengklaim bahwa kehadiran UU Cipta Kerja ini mampu mendukung upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia (9/10/2020). Melalui Omnibus, masalah berinvestasi di Indonesia seperti regulasi yang tumpang tindih dan birokrasi yang rumit dianggap dapat diselesaikan melalui penyederhaan prosedur perizinan. Ditengah dinamika kebijakan ini, Transparency International Indonesia memandang penting untuk merefleksikan implikasi hadirnya UU Cipta Kerja dengan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini dan masa depan.
Pada diskusi tersebut, Transparency International Indonesia (TII) menilai Undang-undang Cipta Kerja tidak akan serta-merta dapat mencegah praktik korupsi di daerah sebagaimana diklaim oleh Pemerintah. Sekretaris Jenderal TII Danang Widoyoko berpendapat, pemangkasan regulasi soal perizinan melalui UU Cipta Kerja yang diharapkan mencegah praktik korupsi justru dapat menimbulkan praktik korupsi di sektor lain.
Oleh sebab itu, menurut Danang, oknum-oknum pejabat di pemerintah daerah akan tetap melakukan praktik korupsi untuk kepentingannya sendiri-sendiri, misalnya untuk kepentingan politik kepala daerah. Menurut Danang, masalah mendasar korupsinya tidak dibenahi tapi hanya digeser dari daerah ke pemerintah pusat.
Ia menambahkan, kekhawatiran tetap menjamurnya praktik korupsi juga diperkuat oleh penyusunan RUU Cipta Kerja yang tak transparan serta melemahnya penegakan hukum. Ketika proses akuntabilitas ini melemah, terutama penegakan hukum dan juga kooptasi lembaga peradilan, yang akan terjadi justru menggeser praktik rente dari Pemerintah Daerah ke Pemerintah Pusat.
Danang juga menegaskan bahwa jika alasannya mencegah korupsi, sebenarnya indeks pemberantasan korupsi Indonesia terus membaik setiap tahun. Dari data Corruption Perception Index yang dikeluarkan Transparency International, RI berada pada ranking 85 pada 2019 atau naik dari 96 pada 2017. Danang menjelaskan beban Indonesia saat ini sebenarnya korupsi politik dan peradilan, bukan dalam kemudahan berbisnis. Dalam Rule of Law Index atau Indeks Negara Hukum 2020 yang dikeluarkan World Justice Project, aspek perilaku korupsi menjadi salah satu kelemahan terbesar.
Sementara, Ekonom Senior Faisal Basri mengatakan, aturan omnibus law tersebut tidak menyentuh masalah korupsi politik. Tak hanya itu, dia merasa salah satu yang menghalangi investor untuk masuk ke Tanah Air ialah adanya potensi korupsi pada transaksi lintas batas atau ekspor impor.
Faisal mengatakan dalam peringkat kemudahan berusaha atau Ease of Doing Business (EoDB) dari Bank Dunia, posisi perdagangan lintas batas Indonesia terus memburuk. Awalnya ranking RI berada di angka 54, lalu memburuk jadi 116 pada 2020. Menurut peneliti senior INDEF ini keinginan pemerintah dalam melawan sumber korupsi tersebut tak nampak sama sekali di dalam Omnibus Law Cipta Kerja. Faisal menduga kegiatan ekspor impor tersebut masih dikuasai oleh rente yang berafiliasi partai politik. Dia mencontohkan, Kementerian Kelautan dan Perikanan membuka keran ekspor benih lobster yang sebelumnya dilarang pada era Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.
Dosen STH Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, secara aspek hukum menegaskan proses penyusunan RUU Cipta Kerja tidak melalui proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Beberapa hal yang disorot antara lain minimnya partisipasi publik dan pembahasan yang dilakukan cenderung tertutup. Alhasil, UU Cipta Kerja tidak menjawab akar masalah, bahkan berpotensi merusak demokrasi.
Bivitri menyebut ada 3 opsi konstitusional yang tersedia bagi masyarakat. Pertama, wilayah eksekutif dengan menerbitkan Perppu. Tapi opsi ini perlu dicermati karena Presiden yang menginginkan UU Cipta Kerja segera terbit. Namun demikian, Presiden harus bertanggung jawab atas kerusakan sosial dan hukum yang timbul. Kedua, wilayah legislatif dengan cara membuat UU baru yang membatalkan. Tapi DPR terlihat tidak ada kemauan politik karena cenderung mengikuti apa yang diinginkan pemerintah.
Ketiga, wilayah yudikatif melalui uji materi di MK, baik secara formil dan materil. Namun Bivitri mengingatkan proses uji materi di MK relatif lama dan tidak pasti karena tidak ada batas waktu maksimal penyelesaian perkara. Presiden Jokowi juga mengarahkan bagi pihak yang tidak puas melakukan uji materi ke MK, tapi menurut Bivitri hal ini seolah menjadikan MK sebagai “keranjang” untuk membuang produk legislasi yang asal.
Disaat bersamaan, setelah pemerintah dan DPR belum lama ini mengetok revisi UU MK, ada potensi daya kritis majelis hakim konstitusi tau melemah. Bivitri menegaskan ketiga opsi konstitusional tersebut tetap perlu diupayakan semua karena RUU Cipta Kerja akan banyak menimbulkan problem tata kelola pemerintahan dan korupsi.