Pentingnya Transparansi dan Akuntabilitas di BUMN/D

Di media dan masyarakat luas, sering terdengar idiom jika Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menjadi sapi perah bagi politisi. Lalu bagaimana di daerah? Hal yang sama juga terjadi di Badan Usaha Milik daerah (BUMD). Praktik suap, gratifikasi, dan konflik kepentingan juga rentan terjadi di BUMD.

Deputi Sekjen TI Indonesia Wawan Suyatmiko dalam acara Pelatihan Peneliti Lokal: Penilaian Antikorupsi TRAC+ di Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Selasa 22/11/2022 di Jakarta mengatakan, Transparansi dan akuntabilitas menjadi penting, baik di badan usaha milik negara maupun daerah. Dari hasil rapid assessment yang kami lakukan, BUMD sangat rentan dengan konflik kepentingan.

TI Indonesia melakukan penilaian Transparency in Corporate Reporting (TRAC) pada 100 perusahaan terbesar dan BUMN di tahun 2017 dan 2018. “Hasilnya belum memuaskan. Masih banyak perusahaan yang belum menerapkan kebijakan anti korupsi hingga ke pihak ketiga (vendor) dan melakukan integrity due diligence. Namun demikian, kami juga mengapresiasi di beberapa BUMN sudah mulai menerapkan ISO 37001 tentang Sistem Manajemen Anti Penyuapan (SMAP)”, tambahnya.

Sementara itu, menurut data KPK tahun 2004-2022, tindak pidana korupsi di BUMN/D merupakan tindak pidana korupsi No. 4 paling banyak terjadi di instansi di Indonesia sebanyak 93 orang. Sementara dari jenis perkara, paling tinggi hingga Juni 2022 adalah di sektor penyuapan sebanyak 838 perkara.

Kepala Satuan Tugas 1 Direktorat AntiKorupsi Badan Usaha (AKBU) KPK RI Teguh Widodo mengatakan, banyak BUMD tidak memiliki Sistem Manajemen Anti Suap (SMAP) dan ISO, untuk itu KPK meluncurkan buku panduan CEK. Suatu panduan untuk mencegah korupsi untuk dunia usaha.

Akademisi Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Dr. Yudho Taruno Muryanto, S.H.,M.Hum mengatakan peraturan terkait BUMD mengalami perubahan dari zaman Hindia Belanda hingga yang terbaru Peraturan Pemerintah No. 54 tahun 2017. Menurut Dr. Yudho, sedikitnya ada 4 ruang dan celah potensi korupsi di BUMD diantaranya; 1. Dominasi dan campur tangan pemerintah daerah, 2. Konsep pengelolaan BUMD menitikberatkan pada kekuasaan dan kewenangan, 3. Kelemahan pemerintah daerah dalam memotivasi individu untuk tujuan organisasi, dan 4. Budaya birokrasi yang kaku. Selain itu, tantangan yang ada juga banyak aspek politisnya, misalkan saja dalam pengangkatan direksi dan komisaris. Hal ini membuat BUMD rentan menjadi alat untuk memenuhi kepentingan pribadi–bukan kepentingan daerah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *